Cerpen
Rio Pamungkas
Kaliman adalah sebuah desa kecil yang berada didekat bantaran anak sungai
bengawan solo. Desa yang sejuk dengan pepohonan sejenis mangga, kedondong, dan
mlinjoini seakan menjadi payung payung raksasa yang siap meneduhkan hati bagi
siapa saja orang yang melewatinya. Pagi itu udara sangat sejuk, seakan tak mau
kalah dengan embun pagi, padi padi yang masih menghijau pun turut menyambutku
dengan lambain lentik sulur daunya sepanjang perjalananku ke sekolah. Sekolahku
memang terletak di Desa tetangga dan perjalanannya harus melewati pematang
sawah sekitar 2 Kilo, jarak yang cukup menyebalkan untuk seukuran anak SMP
sepertiku. Sebut saja namaku Lia, gadis desa 14 tahun yang suka mandi di kali,
bukan hanya aku, Dhani, Indri dan juga Agung adalah sahabat sahabat
setiaku yang juga sama gemarnya menjadi petualang air. Aku adalah seorang anak
petani yang kesehariannya selain bersekolah adalah membantu Ibu menanam padi
saat musim tanam juga memanen padi saat musim panen telah tiba.
Menjadi seorang anak yatim memang
terbilang menyedihkan untuk aku jalani, namun aku tak pernah patah semangat
karena aku masih mempunyai seorang Ibu yang dengan tulus membesarkanku sampai
sekarang. Ayah memang telah lama wafat, saat itu umurku barulah genap 6 tahun,
sebuah peristiwa yang tidak pernah bisa aku lupakan dan menjadi pelajaran
hidupku hingga aku beranjak dewasa.
***
“Pak tadi pagi Bapak dicari Pak Lurah,
katanya ada perlu” ujar Ibu.
Ayah yang baru saja pulang dari
membersihkan hama rumput di sawah padinya segera bergegas menuju balai desa
yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah.
“Ayah..., Lia boleh ikut?” pintaku.
“Jangan.., Lia temani Ibu saja dirumah,
Ayah cuman ada urusan sebentar ko” jawab Ayah.
“Ayolah yah..., ajak Lia.., Lia ingin
jalan jalan sama Ayah..”
“Sudahlah Pak..., diajak saja anaknya,
bapak dari seharian juga disawah, Lia anak kita merasa kehilangan ayahnya”
sahut Ibu.
“Tapi...”
“Sudah ajak saja daripada Lia ganggu
Istrimu ini masak lodeh kesukaanmu. Apa mau nanti jadi keasinan gara gara
dimasukin garam sama anakmu?”
“Yasudah kalo gitu..”
Aku dan ayah akhirnya berangkat bersama
menuju balai desa, sesuai apa yang telah disampaikan Ibu yang mendapat amanah
dari Pak lurah. Seakan tamu kehormatan, sesampainya dibalai desa kami langsung
disambut oleh warga yang sudah lebih dulu hadir dan tak lama kemudian Pak lurah
juga datang menghampiri kami berdua yang kelihatannya memang kamilah yang
paling terakhir datang.
“Maaf Pak lurah, saya baru pulang dari
sawah, tadi ada sedikit masalah di sawah, bnyak smpah masuk ke irigasi” ujar
Ayah.
“Oh ya, Pak Joyo tidak perlu khawatir,
kita juga baru akan mulai” sahut Pak Lurah.
“Ngomong-ngomong rapatnya mau bahas
masalah apa ya pak?”
“Anu.., itu lho Pak.., air di tanggul
udah sangat tinggi gara gara hujan yang terus terusan turun minggu minggu ini,
soalnya resapan air di sekitar tanggul penuh dengan sampah warga bantaran
sungai” jawab Pak lurah.
Ayah dan pak lurah kemudian masuk ke
dalam pendopo yang memang sudah sejak dulu dijadikan tempat untuk
berkumpul warga baik acara rapat maupun acara keagamaan, bahkan terkadang juga
acara resepsi pernikahan diadakan di tempat tersebut karena saking luasnya.
Bukan hanya itu pendopo desa kami memang terkenal indah dan megah apalagi
dengan ukir ukiran khas Jawanya.
Selang beberapa saat acara dimulai aku
melihat Indri memanggil manggilku dari balik pohon dekat pendopo.
“Lia..., sssth... Lia.., sini...!”
“Ya... sebentar In..” aku bergegas
menghampirinya dan ayah pun membiarkanku pergi menemui temanku.
“Ayo ke kali.., airnya lagi banyak..,
Dhani sama Agung udah nungguin nih, cepet !”
“Sip.., aku juga mumpung lg belom mandi
dari pagi, ahihihi..”
“Ih.. dasar Lia.. jorok banget..., aku
joga belom, hahaha” kamipun tertawa terbahak bahak.
Tak lama kemudian kamipun tiba di pinggir
kali yang favorit tempat kita biasa mandi, yakni kali di pinggir waduk, di sana
sudah ada Dhani dan Agung yang sejak tadi menunggu kedatangan kami di bawah pohon
pisang dekat kali.
“Lho.. kok ada monyet dipinggir kali
sih..” ledekku.
“wuu... udah telat pake ledekin kita
kamutu Ia..” sahut Dhani.
“Ia nih.., Dhani kan kebo bukan monyet”
celetuk Agung.
“Asem.. kamu Gung,
mau aku dudukin apa badanmu itu biar remuk sekalian” balas Dhani.
“Udah udah.., kaok jadi pada berantem
sih, katanya mau main dikali?” sambungku.
“Siip... deh kalo itu..” jawab Dhani dan
Agung serentak.
Dhani memang punya postur yang cukup
gendut dan Agung mempunyai badan yang kurus, namun kalo masalah renang baik
Dhani maupun Agung tidak bisa diremehkan meskipun kita masih precil, sedangkan
Indri anak perempuan yang punya postur paling tinggi diantara semuanya meskipun
kita semua seumuran, sedangkan aku yang paling pendek tapi kulitku adalah yang paling
putih karena konon katanya nenekku adalah keturunan Cina.
Kamipun satu persatu mulai menceburkan
diri ke kali, byur byur byur..,masing masing dari kami meloncat dari dahan
pohon mangga yang memang posisinya menjorok ke atas kali, namun aku heran karena
tidak melihat Agung ikut menceburkan diri.
“Dhan.., Agung kemana..?” tanyaku
“Ndak tau.., perasaan dia tadi
dibelakangku Ia”
Tiba tiba dari arah belakang muncul Agung
yang naik di atas pohon pisang yang dibuat seperti rakit. Ternyata Agung memang
sengaja tidak ikut melompat karena ingin menunjukkan mainan barunya kepada
kami.
“Wuih,. Kreatif juga kamu Gung..” tukas
Indri.
“Ia.., boleh dong aku ikut naik?” pinta
Dhani.
“wuh... ya jangan.., bisa tenggelam ini
kapalku kalo kamu yang naikin,” jawab Agung
“Ahh... ga asik kamu Gung..., punya
mainan di pake sendiri, dasar pelit..” celetuk Dhani.
“Hala... yasudah to.., kamu ga usah ikut
naik kan ga apa tho Dhan.., lha kamu ga naik apa apa juga udah ngapung kok”
sahutku.
“Hahahahah... “ Semuanya tertawa.
Saat kami sedang asik mandi dikali tiba
tiba hujan turun, namun seakan tak perduli justru kita makin asik main dikali,
dan di sisi lain Ayah yang sudah selesai melaksanakan acara rapat kebingungan
mencariku karena sesampainya dirumah Ayah tidak mendapatiku dan hujanpun justru
semakin deras turun sehingga semakin membuat Ayahku cemas.
“Buk.. lia anak kita kemana?”
“Lho... Bapak ini gimana tho.., kan tadi
pergi sama Bapak..” jawab Ibu.
“Aduh..., kemana perginya anak ini, udah
ujan begini kok tidak pulang pulang?”
“Piye Pak..., cepet dicari.. nanti anak
kita kenapa napa..!” pinta Ibu.
Ayah dengan tergopoh gopoh mengambil
payung yang tersandar di samping pintu lalu segera mencariku tanpa banyak tanya
lagi.
***
“Lia.., Pulang yuk... aku takut Bapak
Ibuku nyariin aku..” ajak Indri.
“Ahh.. nanggung Ndri..., lagi asik nih
kita..., airnya jadi berombak kaya dilaut..” sahut Dhani.
“Ia nih Ndri.. lagi asik.., bentar lagi
yah, kapal kapalannya seru nih” rayuku.
Tak lama kemudian air tiba tiba
bergelombang kuat, kami yang tadinya asik bermain pun menjadi takut dan segera
menuju ketepian. Agung yang berada di atas rakit langsung meloncat ke air dan
berenang menepi begitu juga Dhani, sedangkan aku dan Indri masih di atas rakit.
“Lia.. ayo cepetan ke tepi..”
“Ia bentar.., aduh.. kakiku kejepit
ini...” jawabku
“Lia.. aku takut nih..,” Indri semakin
takut dan terlihat hampir menangis.
“Yasudah kamu duluan aja, aku nyusul
bentar lagi”
Indri pun menyusul Agung dan Dhani yang
sudah hampir sampai ke tepi, sedang aku sibuk mencabut kakiku yang terjepit
diantara sela-sela rakit yang terbuat dari batang pohon pisang. Tak lama
kemudian terlihat dari kejauhan nampak air bah yang menderu menuju tempatku
berada. Seketika itu aku hanya bisa berteriak dan menangis minta tolong. Agung
dan Dhani yang sudah sampai ke tepi pun hanya bisa memanggilku dan
berteriak minta tolong, sedangkan Indri hanya menangis melihatku tak berdaya di
tengah tengah kali yang semakin membuatku terombang-ambing.
Air bah semakin mendekat dan aku hanya
bisa pasrah, ketika aku sudah merasa sudah tidak ada harapan lagi tiba tiba
terdengar suara seseorang meloncat ke arahku. Byur..., nampak seseorang
berenang dengan cepat ke arahku, aku pun hanya bisa berdoa semoga aku bisa
segera diselamatkan. Betapa terkejutnya aku ketika aku tahu orang yang berenang
kearahku adalah Ayahku sendiri yang sedari tadi mencariku karena tak kunjung
pulang. Ayah melepaskan kakiku dari sela batang pisang dan kemudian
menggendongku sambil berenang menuju ketepian, namun ketika aku dan ayah hampir
sampai ketepi tiba-tiba air bah menghantam kami dan yang terakhir dapat ku
ingat saat itu tubuh kecilku terlempar ke pinggir sungai dan ayahku sendirilah
yang melemparkanku. Didepan mataku sendiri aku melihat Ayah tergulung arus
sungai hingga tak terlihat lagi tubuhnya, tubuh yang setiap hari kulihat, tubuh
yang selalu sabar memelukku ketika aku hendak tidur, tubuh yang selalu
menyayaiku tanpa pertanyakan apa yang bisa kau baktikan pada Orang Tua. Aku
menais, menangis sejadi jadinya. Namun suara hujan dan guntur yang semakin
menjadi jadi seakan tak mau kalah dengan jeritan kesedihanku. Aku memanggil
ayahku berulang ulang, “Ayah.... Ayah... Ayah...,” namun tak kudengar juga
suara Ayahku membalas panggilanku.
***
Sejak saat itu aku menjadi seorang anak
yatim, Ayahku dapat ditemukan warga pada esok harinya setelah warga bersama
sama menelusuru sungai tempatku bermain, Ibuku yang sudah lama menunggu
akhirnya jatuh pingsan ketika melihat jasad Ayahku berhasil ditemukan dan aku
pun hanya bisa meratapi kenakalanku sambil menangis tak henti-hentinya.
Beberapa hari setelah musibah terjadi terdengar kabar warga bahwa air bah yang
saat itu menghantam desa kami terjadi karena sampah-sampah yang dibuang
kesungai dan nyebabkan volume air naik sehingga terjadilah banjir. Sejak saat
itu warga tidak lagi membuang sampai di Kali-kali, dan aku yang kehilangan
sosok Ayah selalu melihatnya tersenyum ketika aku duduk melihat jernihnya air
di Desaku.
“Ayah...”
Rio Pamungkas
Yogyakarta, 29 Februari 2013
0 komentar:
Posting Komentar